Oleh: Dimas Fakhri Bahtiar Rifai*
Oleh: Dimas Fakhri Bahtiar Rifai*
Selama puluhan tahun lamanya, otoritas-otoritas agama di Indonesia yang dijelmakan dalam sosok figur-figur kawakan dengan pengetahuan dan reputasi agama mentereng selalu punya tempat di benak kalangan masyarakat Muslim.
Otoritas-otoritas keagamaan itu dianggap mumpuni untuk dijadikan titik referensi (point of reference) guna dimintai dalil-dalil, fatwa, dan sekelibat narasi keagamaan lain untuk dirujuk sebagai pegangan norma di kehidupan sehari-hari karena merepresentasikan pengalaman ritual dan pengetahuan agama komunitasnya (Azra, Dzik, & Kaptein 2010).
Wajar saja, dari zaman kolonialisme Belanda bercokol pun, otoritas agama punya pengaruh besar yang bahkan mampu menggerakkan berbagai perlawanan di daerah-daerah, seperti Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa (Kanumoyuso, 2014) atau Imam Bonjol di Tanah Minang (Rahmat, 2021).
Ironisnya, karena pasar keagamaan (religious market) hari ini mengalami banyak pergeseran—terutama dipengaruhi masifnya penggunaan media-media baru— dan muncul aktor-aktor baru (Arrobi, 2021), tidak sedikit kelompok yang merasa “terganggu” sampai menimbulkan gejolak pembubaran pengajian atau penolakan pendakwah tertentu yang belakangan ramai.
Lantas sebetulnya, bagaimana gambaran lanskap otoritas agama di Indonesia saat ini? Dan mengapa fenomena pergeseran otoritas agama kadang memicu gejolak-gejolak tertentu?
Baca Juga: Intelektual Kamar Mandi
New Media dan Pengaruhnya Pada Otoritas Agama
Muhammad Zaki Arrobi (2021), dalam uraiannya menerangkan kemunculan media baru (new media) banyak mengubah relasi-relasi sosial yang telah mapan. Media baru melahirkan fragmentasi, pluralisasi, dan kontestasi di antara aktor-aktor keagamaan di Indonesia.
Otoritas agama Islam di Indonesia yang secara tradisional direproduksi oleh sekelompok elite agama (ulama dan kyai) atau melalui lembaga pendidikan pesantren misal, ditantang eksistensi dan reputasinya dengan kemunculan “penerjemah-penerjemah” atau artikulator agama Islam yang baru, yang tidak lahir melalui mileu (budaya) otoritas agama Islam konvensional, seperti pesantren, atau institusi pendidikan Islam lain.
Gejala pergeseran tersebut diawali dengan kemunculan “ustadz-ustadz selebritis” di awal tahun 2000-an. Kini, gejala serupa ditandai dengan kemunculan sosok pemuka agama yang masyarakat kenal lewat media jejaring, seperti Adi Hidayat, Hanan Attaki, Khalid Basalamah, dan lain sebagainya.
Para pemuka agama kini memang pandai dalam memanfaatkan media baru untuk proliferasi dakwah mereka. Tidak sedikit yang pada akhirnya turut menyayangkan dampak penggunaan media sosial yang memunculkan fenomena “fatwa shopping” atau “googling kyai” di tengah masyarakat kita tersebut (Hosen, 2008).
Di lain sisi, kemunculan otoritas agama baru, di banyak pendapat sarjana Muslim, berpotensi menggeser, memperlemah, bahkan menggerus otoritas agama lama yang corak pandang keagamaan keduanya tentu berbeda.
Konsekuensi terjadinya Pergeseran Otoritas
Fenomena pergeseran dan penggunaan media tersebut, dalam pandangan Muzakki (2012), berisiko memunculkan tiga konsekuensi; 1) menguatnya otonomi diri dan melemahnya institusi agama lama seperti ulama, kyai, dan ustaz, 2) berkembangnya rasionalisasi pemikiran dalam tubuh umat Islam, 3) mengerasnya kontestasi intelektual di antara para sarjana Muslim dalam memperebutkan pengaruh publik Islam.
Pergeseran yang terjadi juga menciptakan semacam “pasar ide-ide keagamaan baru”, yang menurut Arifianto (2019) berhasil diisi kelompok Islamisme dengan memanfaatkan internet, majelis-majelis taklim, dan lingkar studi dakwah kampus.
Tidak kalah aktif, berkembangnya “pasar ide keagamaan” turut memantik otoritas-otoritas agama lainnya untuk mengakselerasi kaderisasi ulama-ulama baru seperti yang MUI lakukan, sekaligus memperkuat posisinya sebagai otoritas agama yang berhak mengeluarkan fatwa-fatwa (Jinan, 2012).
Dalam uraiannya, Arrobi (2021) berpendapat penggunaan media baru yang awalnya masif dipakai aktor otoritas agama baru, lalu direspons secara sistematis oleh aktor agama lama lewat jejaring tradisional yang mengakar kuat, mengandung implikasi yang kadang bersifat ambivalen dan penuh ketegangan.
Tidak mengherankan jika “perselisihan” yang menegangkan di antara keduanya turut terasa sampai ke akar rumput pun di kehidupan sehari-hari, termasuk sampai memicu aksi pembubaran dan pencekalan, yang hemat penulis, menodai keberagaman ekspresi keagamaan-sosial kita.
*Pemimpin Redaksi Ruangonline.org
Editor: Ridha Ilahi Nur S.
Saya sangat menikmati membaca artikel ini. Bagaimana kalau membahas
tentang topik lain di tulisan berikutnya?
Tulisan ini memberikan banyak informasi! Terima kasih sudah membagikan!
Informative article, exactly what I wanted to find.