Mengungkap Fenomena “Islamophobia” di Dunia Barat

Bagikan ke
Oleh: Muhammad Taufiqurrahman Z*

Apa Itu Islamophobia?

Islamophobia atau Islamofobia dalam Indonesia adalah suatu ketakutan atau prasangka yang direkayasa dan dipicu oleh struktur kekuasaan global saat ini yang bersifat Eropa-sentris dan Orientalis.

Islamofobia adalah sikap atau perilaku yang didasarkan pada ketakutan, prasangka, atau kebencian terhadap Islam atau umat Muslim. Ini mencakup diskriminasi, stereotipe negatif, retorika yang memprovokasi, serta tindakan kekerasan atau intoleransi terhadap individu atau kelompok Muslim.

Islamofobia dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari sikap tidak ramah atau pengucilan sosial hingga tindakan diskriminatif yang lebih serius di berbagai bidang, seperti pekerjaan, pendidikan, ataupun hukum. Ini merupakan masalah serius yang mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan umat Muslim di seluruh dunia.

Istilah “Islamophobia” pertama kali diperkenalkan sebagai suatu konsep pada sebuah laporan Runnymede Trust Report (laporan lembaga think-tank dari Inggris) tahun 1991 dan definisikan sebagai “permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam, dan dengan demikian, ketakutan atau kebencian terhadap semua atau sebagian besar umat Islam”.

Penganut Islamofobia menyimpulkan Islam sebagai berikut:

  • Islam adalah agama yang monolitik (tunggal-kaku tanpa variasi) dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan realitas-realitas baru.
  • Islam tidak memiliki nilai-nilai yang sama dengan yang diajarkan agama-agama besar lainnya.
  • Islam adalah agama inferior dalam pandangan Barat. la adalah agama yang kuno, biadab, dan tidak rasional.
  • Islam merupakan agama kekerasan dan mendukung terorisme.
  • Islam adalah ideologi politik yang buas.

Sumber: Karen Armstrong, 2018, Islamofobia.

Sejarah Islamofobia

Jika kita menilik dari sisi sejarah, Islamofobia sesungguhnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW., yakni ketakutan kafir Quraisy terhadap dakwah Islam itu sendiri. Sebutlah tokoh Quraisy seperti Abu Jahal, atau Abu Lahab yang banyak menebar kebencian terhadap dakwah Rasulullah pada masa itu.

Situasi kebencian terhadap Islam ini terus berlangsung hingga peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekah) oleh kaum Muslimin pada 8 Hijriyah, atau bertepatan dengan 630 Masehi. Sejak saat itu barulah Islam diterima luas di Masyarakat Jazirah Arab.

Ketakutan terhadap Islam mulai tertanam di Dunia Barat untuk pertama kalinya semasa Perang Salib (antara 1095-1291 M). Peristiwa perang salib dari abad pertengahan sering dikaitkan dengan peningkatan ketegangan antara Kristen dengan Muslim, yang bisa mengakar dalam sikap prasangka dan ketakutan terhadap agama dan budaya Islam. Perang Salib merupakan serangkaian konflik militer yang terjadi antara Abad ke-11 dan ke-13, ketika pasukan Kristen Eropa berperang melawan kekuatan Muslim di wilayah Palestina dan Levant. Konflik ini dapat dilihat sebagai titik awal bagi beberapa bentuk stereotipe negatif terhadap Islam yang terus berlanjut hingga hari ini.

Baca Juga:
-Meriahkan Semarak Ramadan, HMI Komfakdisa Gelar Pesantren Ramadan
-Manusia Modern: Makhluk yang Mencari Bentuk-bentuk Kesejahteraan

Islamofobia kembali mewabah pasca peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di USA. Serangan teroris di World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 melibatkan empat pesawat yang dibajak oleh anggota Al-Qaeda. Dua pesawat menabrak Menara Utara dan Menara Selatan WTC di New York City, menyebabkan runtuhnya kedua menara itu. Satu pesawat lain menabrak Pentagon di Arlington, Virginia, sedangkan pesawat keempat jatuh di Pennsylvania setelah beberapa penumpang berusaha merebut kembali kendali dari para pembajak. Serangan tersebut menewaskan hampir 3.000 orang dan menyebabkan kerusakan yang luas serta trauma yang mendalam di seluruh dunia. Pasca-serangan, Amerika Serikat memulai perang melawan terorisme yang mempengaruhi lanskap politik dan keamanan global selama bertahun-tahun.

Al-Qaeda dan ISIS adalah organisasi teroris yang terlibat dalam serangkaian serangan yang menimbulkan ketakutan dan prasangka terhadap Islam di beberapa negara. Dengan menggunakan kekerasan ekstrem dan propaganda radikal, kedua organisasi ini telah memperkuat stereotipe negatif tentang Islam dan umat Muslim, yang menyebabkan peningkatan Islamofobia di banyak bagian dunia.

Sumber: Redaksi Republika, 2023, “Sejak Kapan Islamofobia Menggejala?”, Republika.id.

Upaya-upaya Mengatasi Islamofobia 

Sebagai umat muslim kita tentu harus mengatasi isu Islamofobia yang tengah berkembang di banyak tempat. Karena fenomena Islamofobia telah banyak merusak citra dan merugikan umat Muslim sebagai agama Rahmatan lil alamin.

Narasi serta stereotipe negatif dari Islamofobia perlu didekonstruksi kemudian dikonstruksikan narasi positif untuk menghindari penyebaran Islamofobia.

Ada dua solusi yang penulis tawarkan untuk menghadapi Islamofobia:

  • Jadikan media sebagai alat kampanye yang merubah stigma anti-Islam di masyarakat.  Di zaman digital saat ini, peran media merupakan suatu hal yang paling berpengaruh pada isu Islamofobia. Mengubah stigma anti-Islam di masyarakat melalui media memerlukan pendekatan yang cermat dan strategis. Pertama, media harus memastikan representasi yang akurat dan berimbang tentang Islam dan komunitas Muslim. Ini melibatkan penekanan pada keragaman internal dalam Islam serta menyoroti kontribusi positif yang dibawa oleh individu Muslim dalam masyarakat. Selanjutnya, media dapat menjadi platform untuk mengedukasi masyarakat tentang Islam, mengungkapkan kesalahpahaman umum, dan menyediakan konteks budaya dan sejarah yang diperlukan. Ini dapat dilakukan melalui program televisi, artikel berita, dan fitur khusus yang mendalam. Selain itu, kolaborasi dengan tokoh masyarakat Muslim dan non-Muslim yang berpengaruh dapat membantu memperkuat narasi inklusif dan mendukung pesan perdamaian dan toleransi. Ini dapat mencakup penampilan di acara televisi, kolom opini, dan proyek-proyek komunitas yang bersifat inklusif. Dalam hal ini, media juga dapat memanfaatkan kekuatan narasi untuk menginspirasi perubahan sikap dan perilaku. Kisah-kisah tentang toleransi, perdamaian, dan kerjasama lintas agama dapat memberikan contoh positif dan membangun koneksi emosional dengan audiens.
  • Edukasi adalah kunci dalam mengubah stigma anti-Islam di masyarakat. Program edukasi yang komprehensif harus mencakup pemahaman yang mendalam tentang Islam sebagai agama, budaya, dan sejarahnya, serta menyoroti keragaman internal dalam komunitas Muslim. Pendekatan yang efektif melibatkan kerja sama antara lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas Muslim dalam mengembangkan kurikulum yang inklusif dan relevan. Ini termasuk pengajaran tentang nilai-nilai Islam, praktik keagamaan, dan kontribusi positif yang dibawa oleh individu Muslim dalam masyarakat. Selain itu, penting untuk menyediakan ruang untuk dialog terbuka dan jujur tentang isu-isu sensitif yang terkait dengan Islam, seperti terorisme, hak asasi manusia, dan peran wanita dalam masyarakat. Ini memungkinkan individu untuk mengatasi kesalahpahaman dan prasangka mereka melalui diskusi yang berbasis fakta dan pengalaman pribadi. Kegiatan ekstrakurikuler seperti kunjungan ke masjid, seminar tentang Islam, dan pertukaran budaya juga dapat membantu memperluas wawasan dan mempromosikan pemahaman lintas budaya di antara siswa dan masyarakat umum.

Perlu disebarluaskan bahwa agama Islam mengajarkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan keadilan. Prinsip-prinsip seperti kasih sayang, pengampunan, dan kesetaraan dianggap sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa tindakan individu atau kelompok yang menggunakan agama untuk tujuan politik atau kekerasan tidak selalu mewakili ajaran yang sejati dari Islam. Masyarakat Islam sendiri juga memainkan peran penting dalam mempromosikan perdamaian melalui dialog antaragama, pendidikan, dan proyek-proyek kemanusiaan.

*Anggota LAPMI HMI Ciputat


Editor: Dimas Fakhri BR

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *