Oleh: Muhammad Taufiqurrahman Z*
Sejarah Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia pertama kali diadakan pada tahun 1955, 10 tahun setelah negara ini memproklamasikan kemerdekaan dari penjajah. Pada waktu itu, pemilu diadakan untuk memilih anggota Konstituante, sebuah badan legislatif yang bertugas merumuskan konstitusi negara. Pemilu tersebut menandai langkah awal dalam membentuk dasar negara yang demokratis.
Selanjutnya, seiring berjalannya waktu, Indonesia mengalami beberapa kali pemilihan umum untuk memilih presiden, anggota parlemen, dan pemerintah daerah. Perjalanan demokrasi Indonesia tidak selalu mulus, kerap punya tantangan dan perubahan yang mencerminkan dinamika politik-sosialnya tersendiri.
Pada era Orde Baru yang dipimpin Soeharto, pemilihan umum diwarnai oleh kendali pemerintah dan dominasi satu partai. Namun, Reformasi tahun 1998 membawa perubahan signifikan pada sistem politik Indonesia, yang pada Pilpres periode-periode sebelumnya misal, di mana presiden dan wakil presiden justru dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sidang umum.
Sejarah pemilihan presiden dan wakil presiden langsung dimulai dari amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga pada tahun 2001. Pasal 6A Ayat (1) UUD menyebutkan, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Baca Juga: Gibran VS Gabriel Boric: Reclaiming Youth Future Menyoal Carok: Pergeseran Nilai dan Salah Kaprah Memahami Tradisi Orang Madura
Presiden Megawati Soekarnoputri pada saat itu menandatangani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik (koalisi) yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR (Presidential Threeshold).
Kemudian, pasangan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara melebihi 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 66 Ayat (2) UU Pemilu. Apabila tidak ada pasangan calon terpilih memenuhi ketentuan tersebut, maka diadakanlah putaran kedua, yakni dua pasangan calon yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua nantinya dipilih kembali oleh rakyat secara langsung melalui pilpres.
Pada tahun 2004, pemilihan umum kembali diadakan dan dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilu menjadi lebih terbuka dan kompetitif, dengan munculnya berbagai partai politik yang mencerminkan keragaman politik di masyarakat, seperti Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan lain sebagainya. Di tahun itu Partai Demokrat menjadi pemenang Pemilu, sampai terpilih kembali di Pemilu 2009 dan menggenapkan umur kepemimpinan selama 2 periode hingga 2014.
Memasuki era digitalisasi, Pemilu tahun 2014 diwarnai penggunaan media sosial sebagai alat berkampanye. Berbagai dinamika antara kubu Joko Widodo dengan kubu Prabowo Subianto pun terjadi. Banyak isu-isu kontroversial di antara kedua calon presiden muncul. Rivalitas kedua calon presiden ini rupanya berlanjut hingga Pemilu tahun 2019.
Situasi Pra Pemilu 2024
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 merupakan isu yang kini tengah menghangat, bahkan memanas. Ada banyak situasi yang menarik perhatian masyarakat, salah satunya adalah gaya kampanye yang menarik dan beragam di banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden; mulai dari pasangan 01 dengan program Desak Anies, pasangan 02 yang lebih aktif di media sosial dengan branding “gemoy”, dan tak kalah pasangan 03 dengan kegiatan blusukannya. Masing-masing calon mempunyai keunikannya tersendiri.
Pilpres kali ini juga mempunyai dinamika yang berbeda dan berubah-ubah dari Pilpres sebelumnya. Prabowo yang awalnya konsisten sebagai oposisi Jokowi, sekarang menjadi calon presiden yang menggaungkan narasi keberlanjutan dari program Jokowi. Begitu juga Anies Baswedan yang sebelumnya sempat didukung Prabowo pada Pilkada 2017, sekarang justru menjadi lawan sengitnya di arena debat. Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan lah yang barangkali terlihat berbeda dibandingkan kedua paslon tersebut; karena Ganjar sedari awal karir politiknya memang selalu diusung partai berjuluk “Banteng Merah” itu.
Banyak faktor-faktor yang akan mempengaruhi hasil kontestasi Pemilu 2024 ini, seperti arah dukungan pendukung Jokowi (Projo) dan juga suara anak muda yang sangat krusial di Pilpres kali ini.
Ke mana Arah Pendukung Jokowi?
Indikator Politik Indonesia merilis survei yang menunjukkan tingkat kepuasan kinerja presiden Jokowi mencapai 76,5%. Karena itu, posisi pendukung Jokowi sangat diperhitungkan untuk memenangkan kontestasi Pilpres kali ini. Sebagian masrakyat masih ingin merasakan keberlanjutan program Jokowi, sedangkan sebagian lagi tidak puas dan menginginkan perubahan.
Di awal kontestasi Pilpres publik sempat bertanya-tanya; ke mana arah dukungan pendukung Jokowi untuk Pilpres 2024 kali ini? Di satu sisi Prabowo berpasangan dengan anak Jokowi sendiri, alias Gibran Rakabuming Raka, lalu di sisi lain Ganjar adalah calon yang diusung oleh partainya Jokowi sendiri, yaitu PDI Perjuangan. Isu yang berkembang saat ini Jokowi cenderung menaruh pilihan kepada Pasangan Calon (Paslon) 02, Prabowo-Gibran.
Suara Anak Muda pada Pilpres 2024
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2024. Jumlahnya mencapai 204.807.222 pemilih. Dilansir dari situs KPU.GO.ID, 55% pemilih didominasi oleh generasi muda. Artinya, para pemuda dalam kontestasi Pilpres dan Pemilu kali ini merupakan faktor penentu kemenangan.
Partisipasi aktif anak muda dalam Pemilu 2024 dapat menjadi faktor penentu kemenangan karena mereka membawa perspektif baru, energi, dan kebutuhan generasi mereka ke dalam proses politik. Setiap calon kini harus memikirkan cara untuk menarik perhatian anak muda.
Anak muda cenderung memiliki ketertarikan terhadap isu-isu genting, seperti pendidikan, pekerjaan, lingkungan, dan teknologi. Mereka juga terbiasa memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi dan memobilisasi dukungan, yang tentu memainkan peran kunci dalam menentukan hasil pemilu.
Kita sebagai rakyat atau sebagai subjek Pemilu bertanggung jawab untuk memberikan pemahaman politik kepada anak muda yang menjadi subjek mayoritas pemilih. Pendidikan politik pada anak muda saat ini krusial untuk membentuk pemahaman yang kuat mengenai sistem politik, hak, dan kewajiban warga negara, serta dampak keputusan politik terhadap kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat memotivasi mereka untuk terlibat aktif dalam proses demokrasi dan membuat keputusan yang berdasarkan informasi yang baik. Pemilu sebagai “pesta demokrasi rakyat Indonesia” seharusnya dapat memberikan pelajaran terbaik untuk kita semua dengan menerapkan kejujuran dan keadilan.
*Anggota Lapmi HMI Ciputat
Editor: Dimas Fakhri BR